MANOKWARI, Kumparanpapua.com – Gemar Papeda (Gerakan Masyarakat Papua Penuh Damai) menjadi langkah nyata menghadirkan agama bukan hanya sebagai ajaran, tetapi sebagai kekuatan penggerak kesejahteraan umat.
“Program ini mengajak seluruh elemen masyarakat – ASN, tokoh agama, aparat pemerintah, hingga masyarakat umum – untuk bersama-sama mendukung perekonomian Mama-Mama Papua, simbol ketekunan dan kemandirian di Tanah Papua,” ungkap Kakanwil Kemenag Papua Barat, Luksen Jems Mayor.
Menurutnya, agama membawa misi untuk mewujudkan kehidupan yang adil, damai, dan penuh kasih. Hal itu ditegaskan dalam Kitab Suci, baik Injil maupun Al-Qur’an, bahwa iman sejati harus diterjemahkan dalam tindakan nyata yang membawa perubahan.
“Dengan mendukung Gemar Papeda, kita melakukan aksi sederhana namun berdampak besar: membeli hasil bumi, kerajinan, dan dagangan Mama-Mama Papua. Dari setiap transaksi, kita bukan hanya menggerakkan roda ekonomi, tetapi juga memulihkan martabat, menumbuhkan harapan, dan memperkuat ikatan sosial di tengah masyarakat majemuk,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa kesejahteraan umat tidak hanya diukur dari pendapatan, tetapi juga dari rasa aman, kesempatan yang sama, serta kemampuan setiap keluarga untuk hidup bermartabat. Karena itu, Gemar Papeda menjadi wujud sinergi antara agama, pemerintah, dan masyarakat menuju Papua yang damai, harmonis, dan sejahtera.
Melalui gerakan ini, pasar tradisional pun dipandang sebagai “ruang ibadah sosial” – tempat iman diwujudkan dalam karya, kasih diterjemahkan dalam tindakan, dan kesejahteraan dibagikan untuk semua.
“Inilah agama yang hadir di tengah umat: bukan hanya mengajarkan doa, tetapi juga mengajarkan kepedulian dan keadilan,” tambah Luksen.
Hal senada disampaikan Alumni PKN II sekaligus Dirjen Perlindungan dan Jaminan Sosial Kemensos RI, Prof. Agus Zainal Arifin. Menurutnya, Gemar Papeda merupakan gagasan luar biasa karena berhasil menegaskan bahwa agama tidak berhenti pada tataran doktrin, melainkan menjadi energi penggerak kesejahteraan sosial.
“Mama-Mama Papua adalah simbol kemandirian dan martabat. Inilah wajah sejati pembangunan berbasis komunitas dan keadilan sosial,” ucap Prof. Agus.
Ia menilai gagasan menjadikan pasar tradisional sebagai “ruang ibadah sosial” sangat inspiratif karena iman menemukan keutuhan ketika diwujudkan dalam kepedulian, keadilan, dan solidaritas nyata.
Selain itu, Prof. Agus mengusulkan adanya kerja sama antara Kemenag Papua Barat dengan perguruan tinggi, baik di bawah Kementerian Pendidikan Tinggi maupun Kementerian Agama.
“Perguruan tinggi dapat berperan mendampingi Mama-Mama Papua dalam hal branding dan packaging produk, sekaligus membantu promosi agar lebih efektif dan efisien. Dengan begitu, produk mereka bisa lebih dikenal dan dinikmati masyarakat di berbagai penjuru Nusantara,” tutupnya. (KP/03)














