MANOKWARI, Kumparanpapua.com – Di sepanjang Pantai Petrus Kafiar, Distrik Manokwari Barat, Papua Barat, tumpukan rumput laut selama ini hanya dianggap limbah pesisir — membusuk di antara pasir putih dan riak ombak. Namun, bagi mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Universitas Caritas Indonesia (UNCRI) Manokwari, makroalga tersebut justru menyimpan potensi luar biasa: bahan baku pupuk organik ramah lingkungan.
Dipimpin Wakil Dekan I FST UNCRI, Yohanes Ada’ Lebang, SP., M.Si., para mahasiswa dari Program Studi Rekayasa Kehutanan, Sains Kelautan, dan Ilmu Lingkungan melakukan praktik lapangan terpadu untuk mengidentifikasi 12 jenis rumput laut. “Kami ingin membuktikan bahwa laut tidak hanya memberi ikan, tetapi juga menumbuhkan pupuk untuk ladang-ladang warga,” ujar Yohanes.
Identifikasi Rumput Laut Bernilai Guna
Proses identifikasi dilakukan secara manual di bawah terik matahari. Rumput laut dikumpulkan, dicuci dari garam laut, diamati morfologinya, dan dikelompokkan berdasarkan bentuk talus serta warna alami. Hasilnya mencakup beragam jenis seperti Sargassum sp. (Lame-lame), Turbinaria sp. (Katang-batang), dan Caulerpa racemosa (Latoh) yang selama ini kerap diabaikan.
Yohanes menjelaskan bahwa tiap jenis rumput laut memiliki kandungan nutrisi berbeda, mulai dari nitrogen, fosfor, magnesium, hingga yodium. “Jika diolah dengan benar, makroalga ini mampu memperbaiki struktur tanah, meningkatkan aktivitas mikroba, serta menambah daya simpan air,” jelasnya sambil memeriksa lembaran Ulva lactuca (Selada Laut).
Untuk kelompok alga merah (Rhodophyta), ditemukan antara lain:
1.Gracilaria sp. (Tumput Agar)
2.Hypnea sp. (Rumput Karang Merah)
3.Gelidium sp. (Gelidium Merah)
4.Laurencia sp. (Lawer-laweran Merah)
5.Acanthophora sp. (Rumput Berduri Merah)
6.Dictyota sp. (Daun Lebar Coklat)
Jenis-jenis ini dikenal sebagai sumber kalium, yodium, serta memiliki fungsi antibakteri dan pengikat kelembapan tanah.
Bagi warga pesisir Manokwari Barat, keberadaan rumput laut kerap dianggap gangguan karena menimbulkan bau dan menyulitkan nelayan. Akibatnya, banyak yang membakar tumpukan tersebut. Namun di tangan mahasiswa UNCRI, rumput laut itu dibersihkan, dijemur di atas terpal, dan dicacah halus agar unsur haranya cepat terserap saat dijadikan pupuk.
“Ini lebih dari sekadar praktik — ini pembelajaran hidup,” kata Yosefa Pai Koten, mahasiswi Ilmu Lingkungan, sambil menatap jemuran rumput laut di bawah matahari, tangan masih penuh serat makroalga.
Yohanes menegaskan bahwa kegiatan ini baru tahap awal. Setelah identifikasi, akan dilanjutkan dengan uji proksimat kandungan NPK, verifikasi taksonomi, hingga uji efektivitas pupuk pada tanaman hortikultura. “Mahasiswa juga akan belajar cara mengemas, menjual, dan mendampingi warga dalam penerapan,” ujarnya.
Pantai Petrus Kafiar disiapkan sebagai Pusat Pembelajaran Lapangan (Field Learning Center) untuk konservasi pesisir dan pengembangan pertanian organik. Mulai dari praktik panen lestari hingga pembentukan kewirausahaan hijau (green entrepreneurship) akan menjadi fokus kegiatan.
Rumput Laut, Jembatan Ekologi-Sosial
“Bayangkan, apa yang selama ini dianggap limbah justru bisa menjadi sumber penghasilan dan solusi lingkungan bagi warga pesisir. Ini bukan hanya soal pupuk, tetapi juga soal kedaulatan pangan dan pengelolaan laut yang bijak,” tegas Yohanes.
Saat matahari mulai tenggelam di balik pepohonan pantai, para mahasiswa merapikan hamparan rumput laut yang kering. Di antara desau angin dan suara ombak, tumbuh keyakinan baru: bahwa di balik riak laut Pantai Petrus Kafiar, selalu ada harapan — subur untuk tanah, lestari bagi laut, dan menyejahterakan manusia. (KP/03)