Home / PENDIDIKAN

Selasa, 27 Februari 2024 - 23:38 WIB

Pentingnya Edukasi Dalam Mengatasi Ketimpangan Sosial di Manokwari

Potret seorang pelajar SD yang baru saja pulang dari sekolah di Pulau Lemon, Manokwari.  (Foto: Istimewa)

Potret seorang pelajar SD yang baru saja pulang dari sekolah di Pulau Lemon, Manokwari. (Foto: Istimewa)

Manokwari, Papua Barat – Ketimpangan sosial atau kondisi dimana adanya ketidakseimbangan atau jarak yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yang disebabkan oleh adanya perbedaan status sosial, ekonomi, maupun budaya dapat terlihat jelas di tengah-tengah masyarakat kita di kota Manokwari, baik itu ketimpangan pengembangan diri manusia, ketimpangan antara desa dan kota, ketimpangan antar wilayah dan subwilayah, ketimpangan antar golongan sosial ekonomi, ketimpangan penyebaran aset maupun ketimpangan antar sektor ekonomi. Dilansir dari BBC News Indonesia, ketimpangan sosial dirasakan oleh warga di seluruh Indonesia, tetapi secara keseluruhan tingkat ketimpangan sosial lebih tinggi di Indonesia bagian timur bila dibandingkan wilayah lain. Kondisi ini sangat nampak terlihat pada di Kabupaten Manokwari yang berada pada wilayah Provinsi Papua Barat yang merupakan salah satu provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia.

Faktor penyebab ketimpangan sosial sendiri terbagi menjadi dua, yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berupa rendahnya kualitas sumber daya manusia yang disebabkan oleh tingkat pendidikan atau keterampilan yang rendah, kesehatan yang rendah, serta adanya hambatan budaya (budaya kemiskinan). Sedangkan faktor eksternal dapat berupa birokrasi atau kebijakan pemerintah yang membatasi akses seseorang, misalnya: ketimpangan sosial terjadi bukan karena seseorang malas bekerja, melainkan ada sistem yang membatasi seseorang untuk bisa mendapat pekerjaan tersebut.

Kita harus menyadari bahwa senjata yang paling ampuh dalam menghadapi ketimpangan sosial adalah peningkatan sumber daya manusia melalui pendidikan untuk mengatasi ketimpangan sosial pada aspek manusia. Dapat kita lihat di Manokwari, masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan edukasi atau pendidikan yang baik, bahkan yang sudah bersekolahpun masih harus menghadapi ketertinggalan karena fasilitas belajar-mengajar yang kurang memadai, dan mirisnya, masih jauh lebih banyak lagi yang belum merasakan bangku sekolah. Hal ini didukung oleh ketimpangan antara desa dan kota maupun ketimpangan antar wilayah dan subwilayah yang mana dapat kita ketahui bahwa pembangunan infrastruktur lebih banyak dilakukan di wilayah pusat atau perkotaan, dalam bidang pendidikan dapat kita lihat bahwa hanya sekolah-sekolah di wilayah dalam kota Manokwari yang mendapat akreditasi A, itu pun hanya beberapa sekolah, kondisi ini menyiratkan bahwa sekolah-sekolah diluar wilayah kota Manokwari masih belum dapat memenuhi standar yang seharusnya dicapai. Akses dan kualitas pendidikan di wilayah desa yang masih minim tersebutlah yang membuat pola pikir dan kesejahteraan masyarakat di wilayah desa tertinggal jauh dari masyarakat kota. Bagi keluarga yang memiliki ekonomi yang baik, mungkin dapat dengan mudah mengatasi hal ini dengan menyekolahkan anak mereka di sekolah wilayah kota, lalu bagaimana dengan yang tidak? Hal ini termasuk dalam ketimpangan antar golongan sosial dan antar sektor ekonomi yang mana pastinya masyarakat kelas atas akan memiliki akses pendidikan yang lebih baik dibandingkan masyarakat kelas bawah.

Baca Juga  Membawa Misi Konservasi Nilai-nilai Kearifan Lokal Papua, Komunitas Wikimedia Manokwari Turut Serta dalam Konferensi WikiNusantara 2024

Dampak nyata dari minimnya edukasi dapat kita lihat ataupun rasakan sendiri dalam kehidupan sosial kita, sebagai contoh, budaya “menjual pisang dan membeli pisang goreng” yang tak kunjung lepas dari pola pikir masyarakat kita karena ketidaktahuan akan prosedur produksi sehingga memaksakan mereka untuk menjual bahan baku daripada memproduksinya. Tidakkah hal ini juga termasuk dalam dampak

minimnya edukasi? Pada kenyataannya, mengatasi ketimpangan dengan berpihak pada anak sebagai sumber daya manusia dalam kebijakan pendidikan bukanlah pilihan yang populer. Politikus tidak mengandalkan sektor ini karena kurang mempengaruhi elektabilitas. Prosesnya jauh lebih panjang dari masa jabatan penguasa dan outputnya sering tidak nyata. Di sisi masyarakat pemilih, kepentingannya sebagai individu membuat isu pendidikan dan pemerataan bagi generasi berikutnya tidak relevan dibanding risiko seperti kehilangan pekerjaan. Analisis Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan pada peraturan pemerintah dan pengalokasian anggaran pendidikan sejak kemerdekaan menunjukkan bahwa isu ketimpangan cenderung dikebelakangkan.

Baca Juga  Dirugikan, Partai GOLKAR Minta Advokat YCW Klarifikasi Pernyataan Menyesatkan

Ada banyak hal yang dapat diusahakan pemerintah untuk mengatasi ketimpangan yang terjadi di Manokwari tetapi yang saya bahas disini terkhusus untuk sektor pendidikan.

Strategi terpenting yang dapat diusahakan pemerintah adalah memberi dukungan kepada keluarga serta lembaga nonformal dan informal. Berbagai tunjangan finansial atau pun nonfinansial bagi orang tua anak usia dini akan memberikan modal keterampilan bagi anak, keluarga, dan negara. Bahkan, di usia anak 3 tahun pun, kesenjangan kemampuan anak yang terlahir dalam kemiskinan 27-40 persen dibanding anak yang lahir dengan sumber daya keluarga yang baik (Sacks, 2017). Sebanyak 57 persen anak Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan perlu dukungan, bahkan sejak sebelum dilahirkan. Kondisi ini menjadi sepenuhnya tanggung jawab pihak orang tua, tetapi sadarkah kita, bahwa terkadang orang tua dari anak-anak sudah berusaha bekerja untuk mendapatkan penghasilan namun tetap saja penghasilannya tidak cukup untuk memberikan pendidikan yang baik untuk anak? Maka dari itu peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk mengurangi resiko dari permasalah tersebut.

Hal lain yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan membuat taman belajar di setiap wilayah (RT/RW), sarana olahraga di setiap kelurahan, dan sarana lainnya yang dapat berfungsi sebagai sarana pendidikan non formal dalam pengembangan karakter, moral, dan etika. Dilain pihak, kebijakan tunjangan guru juga diharapkan dapat berjalan seiring dengan pemerataan kompetensi dan distribusi serta pembagian beasiswa secara tepat sasaran diharapkan dapat meningkatkan dan mempercepat proses edukasi masyarakat.

Sebagai penutup, saya mengutip kalimat dari Humas Kemenko Perekonomian dan Tim Komunikasi Pemerintah Kemkominfo mengenai pentingnya pendidikan: “If you want 1 year prosperity, grow a grain. If you want 10 year prosperity, grow a tree. If you want 100 year prosperity, grow people.”

Penulis : Julianita Adriance H. Rehiara

Share :

Baca Juga

BUDAYA

Membawa Misi Konservasi Nilai-nilai Kearifan Lokal Papua, Komunitas Wikimedia Manokwari Turut Serta dalam Konferensi WikiNusantara 2024

PENDIDIKAN

GEMAR 2024: FKMI Unipa Berbagi Hijab dan Gamis untuk Semua